Oleh : Dr. H. Muhammad Rizal Akbar
Pehaman libralisme yang menekankan pada kebebasan dan kesamarataan yang menggugat kemapanan tata nilai yang ada, baik agama, budaya maupun identitas sebuah bangsa menjadi ancaman tersendiri bagai masa depan generasi. Arus deras gelobalisasi dengan dukungan teknologi informasi yang semakin canggih menyebabkan pahaman ini sukar untuk dibendung.
Libralisme pemikiran dikhawatirkan juga telah pula merambah kepada sisi pemikiran Islam yang kini dikenal dengan istilah Islam libral. Sejauh mana iyanya berdampak negatif serta bagaimana “mendepaninya” (menghadapinya red) dibincangkan secara panjang lebar pada Seminar Antara Bangsa, Islam sebagai Ad-Dien. oleh Dewan Perwakilan Majlis Pelajar UiTM Cawangan Pahang Malaysia. Pada seminar itu penulis diberi kesempatan menjadi pembentang bersama Ketua ACIS UiTM Melaka.
Kekhawatiran bahwa libralisme telah merusak generasi dan menghilangkan jati diri bangsa sejak awal telah dipersoalkan. Nikah sejenis, longgarnya batasan-batasan agama, kehidupan remaja yang glamor merupakan isu-isu yang dibangkitkan terkait gejala dari pemikiran libralisme itu. Para pendakwahpun mengumandangkan bahaya kehidupan semacam itu untuk keberlansungan ummat dan ancamannya dalam kehidupan diakhirat nanti.
Sebagai sebuah forum ilmiah yang dihadiri oleh Mahasiswa dan Dosen, kekhawatiran dan teriakan dengan nada ancaman terhadap bahaya dari pemikiran libralisme itu terasa tidak menyelesaikan masalah. Untuk itu, sebagai akademisi, baik Dosen dan Mahasiswa yang merupakan agen perubahan perlu dipersiapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang benar untuk mengenal pasti serta mendepani persoalan tersebut.
Adakah Islam libral terlahir dari gagasan libralisme barat? Adalah persoalan yang patut dijawab secara kritis. Bukankah Islam sendiri merupakan musuh terbesar libralisme barat itu, juga merupakan statemen yang agaknya patut didiskusikan.
libralisme adalah pahaman yang berasal dari dunia barat yang berkembang diperkirakan sejak abad ke 17-18. Libralisme merupakan idiologi filsafat, politik dan ekonomi yang menekankan pada kebebasan indifidu, hak-hak sipil,demokrasi dan kebebasan pasar. John Lock sebagai tokoh awal meperkenalkan pemahaman ini dengan menekankan pada hak-hak alamiah seperti kehidupan, kebebasan dan properti, sebagaimana bukunya “The Treatisea Of Goverenment” (1689).
Sejak itu, gagasan-gagasan libralisme terus berkembang, yang disambut dengan Montesquieu (1748), dengan memberikan tumpuan utama dalam pemerintahan demokrasi modern. Gagasan librallsme itu diimplementasikan secara nyata dengan hadirnya Deklarasi kemerdekaan Amerika tahun 1776, Revolusi Francis 1789 dan munculnya buku “The Wealth Of Nation” Oleh Adam Smith (1776), yang menjadi pilar awal ekonomi klasik dan merupakan ekonomi modren pertama dalam sejarah serta dasar pijakan awal sistem kapitalis. Libralisme berlanjut dengan hadirnya Neolibralisme yang menekankan pada pasar bebas, deregulasi dan privatisasi. Pada 1970, dan kini proses libralisme memunculkan wajah baru yakni globalisasi.
Istilah Islam Libral mulai berkembang di Indonesia diperkenalkan oleh ilmuan barat. Greg Barton (1999),menulis Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Pemikiran neo- Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahamad Wahib, dan Abdurahman Wahid) . Selain itu juga terdapat tulisan Leonard Binder, Charles Kurzman dan lainnya. Binder menggunakan istilah Islamic Libralism sedangka Kurzman dan Barton menyebutnya Islam Libral.
Agaknya untuk mudah menganalisis Islam libral dapat digunakan prisip filsafat ilmu melalui pendekatan ontologi, epistimologi dan aksiologi. Secara ontologis boleh jadi Islam Libral adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan pada nilai-nilai kebebasan, hak azazi manusia, pluralitas dan kekinian. Dengan defenisi ontologis sedemikian, dapat dikatakan bahwa Islam libral itu sebagun dan memiliki prinsif yang sama dengan gagasan Libaralisme barat sebagaimana yang diperkebalkan diatas.
Pembahasan seputar ontologi akan menggiring klaim bahwa islam libral adalah produk barat yang menyesatkan. Sebab apa yang menjadi objeknya adalah prinsif-prinsip yang sama diantara libralisme dan Islam libral. Sehingga kelompok kontra Islam Libral akan menggunakan hal ini sebagai hujah mereka dalam argumentasi menentang Islam libral tersebut.
Perbincangan diseputar ontologi ini agaknya sedikit memprihatinkan. Dan jika gagasan Islam libral yang dikedepankan hanyalah mengandalkan pada prinsif-ptinsif ini, maka boleh jadi Islam hanya menjadi rumah untuk ruh yang bernama libralisme. Islam hanya tinggal simbol dan limbarlismelah yang menguasainya. Agaknya potensi konflik ada disini yang membuka debatebel diantara yang pro dan kontra.
Bila dianalisis dari pendekatan epistimologi pula, maka Islam Libral merupakan sebuah proses berfikir. Hal ini ditandai oleh ijtihat yang masih terbuka (Pintu Ijtihat masih terbuka) serta penafsiran dalil atau teks agama yang bersifat relatif dan kontekstual serta dialektik. Pada kondisi ini agaknya tidak terlalu banyak yang menolak, sebabnya perkembangan zaman dengan teknologi yang merubah corak peradaban manusia menghendaki syariat Islam terutama pada sisi muamalah harus berkembang selaras dengan perubahan itu. Akat transaksi syariah sepertinya satu bagian yang paling terimbas, sehingga produktifitas para Dewan Syariah dalam memproduksi fatwa-fatwa yang mendukung transaksi baru menjadi daya ungkit perkembangan lembaga keuangan syariah.
Akan tetapi pada sisi ibadah keterbukaan ijtihad ini agak sedikit ketat, namun demikian tetap diperlukan seperti pada ibadah Haji, Zakat, Wakaf serta ibadah-ibadah lainnya yang masih memiliki dimensi sosial kemasyarakatan. Malahan jika melihat dari perspektif Maqasyid Syariah (Tujuan Hukum) keterbukaan itu menjadi sangatnyata dalam perspektif epistimologi.
Ketika menganalisa dari perspektif Aksiologi pula, maka pola berfikir Islam libral menjadi jawaban atas persoalan kekinian, yang humanis, rasional dan plural, yang menjamin keperluan Islam untuk tetap menjadi Ad-Din yang “Rahmatan lila’lamin”. Sehingga mampu memberikan jawaban berbagai persoalan melalui ijtihad kontemporer dan penafsiran kontekstual yang menjadi kekuatan dalam menjawab tatangan zaman.
Disamping itu pola berfikir ini juga mendukung apa yang sedang dipromosikan oleh institusi politik Islam hari ini seperti “Madani”, “Islam Nusantara”, ” Islam Hadhari”, “Wasyathiyah (Moderasi) dan lainnya yang diperlukan dalam penguatan ummah dan politik Islam sehingga mampu berkolaborasi dalam lingkungan global yang heterogen dan rasional.
Dengan demikian bila sudut pandang Islam Libral hanya terhenti pada aspek ontologi sebagai sebuah aliran pemikiran yang menekankan pada kebebasan, hak asazi manusia, pluralitas dan kekinian maka kita dapat mengatakan bahwa Islam libral itu lahir dari rahim libralisme barat yang patut dicurigai.
Namun jika iyanya dipandang sebagai sebuah proses berfikir, maka lebel islam libral agaknya tidak menjadi penting sebab keterbukaan, dan perkembangan memang diperlukan dan menjadi ciri bagi agama Islam yang rahmatan lilalamin.
Sebagai keaimpulan bahwa dari penuturan diatas bagaimana sikap Belia Muslim dalam mendepani bahaya libralisme di masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, Tafaqquh Fiddin. Belia Islam sebagai sosial of chang dan generasi Dakwah Islam harus benar-benar mendalam ilmu pengetahuan keislaman secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sehingga pemahaman Islamnya menjadi baik dan tidak sepengal-sepenggal. Selain itu harus memiliki wawasan luas tidak dimulai dari sentimen pada idiologi tertentu namun mampu memahami babyak perbedaan dalam kontek agama.
Kedua, berwawasan interaksi, integrasi dan evolusi sebagaimana pendekatan Tawhidi String Relation (TSR) yang dikupas oleh Mashudul Alam Chuduri. Kemampuan berinteraksi itu baik sesama muslim dari berbagai golongan maupun dengan alam dan masyarakat global. Interaksi ini meskipun bersifat global namun harus dilandasi nilai keisalam yang tafaqquh. Pengembangan dari interaksi itu adalah integrasi, mampu membangun ikatan dan berkolaborasi secara elegan meskipun dari komunitas yang heterogen dan global. Dan selanjutnya mampu mentrasformasi tatanilai baru dalam sebuah evolusi yang tetap berpegang pada tagaqquh Fiddin.
Ketiga, Belia Islam dalam mendepani libralisme ditengah masyarakat harus dibekali dengan wawasan lokal wisdom. Melalui wawasan ini diharapkan genarasi Islam mengerti dengan asal usul masyarakatnya, budaya asalnya serta kesejarahan dan ketamaddunannya. Pemahman dengan budaya dan ketamadunan akan menyebabkan Islam semakin membumi dimasyarakat dengan akar kebudayaan yang kokoh, hal inilah yang ditanamkan oleh para ulama-ulama nusantara pada masa silam, mereka telah menulis kitab-kitab Turats dalam ejaan Jawi, supaya sampai pada masyarakat muslim dinusantara pada masa itu, mereka menghadirkan kesenian Islam, dan budaya sasra lainnya.
Keempat, untuk mendepani bahaya libralisme ditengah masyarakat, belia Islam harus memiliki wawasan Madani dan Wasyathiah. Madani mengambarkan tatanan ummat yang civil society, terbuka dan rasional dengan menjalankan nilai-nilai keIslaman yang kokoh. Sementara Wasyathiyah pula adalah bersikap moderat, yakni mampu memahami kiri dan kanan dan bisa mendamaikannya. Sikap ini harus ditopang oleh pengetahuan keislaman yang kokoh serta sikap dan akhlak yang mulia.
Wassalam
Disampaikan Pada Seminar Antara Bangsa Islam sebagai Ad-Din UiTM Cawangan Melaka 22 Juni 2024