Sejarah Dumai, dinukil dari “Beschrijving Eener Reis Van Bengkalis Langs De Rokan-Rivier Naar Rantau Binoewang” Oleh J. A. Van Rijn Van Alkemade 1884

Essay Oleh : Muhammad Rizal Akbar

Dumai atau Domei, yang kini dikenal sebagai salah satu kota pesisir penting di Provinsi Riau, memiliki sejarah panjang sebagai wilayah transit dan pertemuan berbagai etnis, khususnya Melayu dari perantauan. Dalam catatan perjalanan J.A. van Rijn van Alkemade tahun 1884, kawasan ini disebut sebagai bagian dari jalur pelayaran antara Bengkalis dan pedalaman Rokan, yang pada masa itu dipenuhi dengan aktivitas perikanan, pelayaran, dan perdagangan kecil masyarakat tempatan.

Dalam deskripsi Alkemade, wilayah yang disebut Selat Domei (sekarang Dumai) merupakan kawasan yang pernah menjadi tempat berlindung para bajak laut yang membuat jalur pelayaran Selat Melaka menjadi sangat berbahaya. Namun kemudian, daerah ini mulai dikuasai oleh struktur pemerintahan adat Melayu, di bawah pengaruh Datoek Laksamana dari Bukit Batu, yang mengangkat seorang Panghulu Domei sebagai penguasa lokal. Meski demikian, kekuasaan panghulu ini terbatas hanya pada urusan kecil, seperti pemberian denda ringan, dan masih sangat bergantung pada otoritas atasannya.

Komunitas masyarakat Domei pada masa itu hidup sederhana dengan mengandalkan hasil ladang dan tangkapan laut. Mereka tinggal di perkampungan kecil seperti Puea atau Bindjei yang terletak di dekat Sungai Domei. Kehidupan mereka sangat tergantung pada siklus air pasang dan surut, serta sumber daya alam yang ada seperti ikan dan hasil hutan. Selain masyarakat Melayu, juga ditemukan keberadaan Orang Akit dan Suku Sakai di wilayah sekitar, kelompok masyarakat adat yang mendiami hutan dan hidup dari hasil buruan serta hasil hutan non-kayu.

Secara etnografis, laporan Alkemade juga menunjukkan bahwa di wilayah Selat Domei, telah terjadi proses interaksi antar etnis, termasuk perkawinan antara Tionghoa imigran dan perempuan Orang Akit. Perpaduan ini melahirkan komunitas hybrid yang memperkaya dinamika sosial wilayah tersebut. Mereka tidak hanya mengolah hasil laut dan membuat belacan, tetapi juga berperan dalam perdagangan dengan Singapura dan Malaka, yang kala itu merupakan pusat perdagangan regional penting.

Kawasan Dumai dahulu juga sangat bergantung pada struktur kenegerian adat yang menjadi bagian dari pengaruh Kerajaan Siak. Hubungan vertikal antara penghulu tempatan dengan datuk berkedudukan lebih tinggi menggambarkan sistem feodal khas Melayu di pesisir Sumatra pada abad ke-19. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Sultan Siak, yang memberikan gelar, kuasa, serta hak atas hasil bumi kepada para penghulu dan datuk sebagai representasi kekuasaan kerajaan.

Menurut Alkemade, akses menuju Dumai tidaklah mudah. Kondisi geografis berupa sungai berlumpur, beting pasir, dan perubahan pasang-surut air membuat pelayaran ke wilayah ini sangat berisiko. Bahkan dalam ekspedisinya, kapal Alkemade beberapa kali kandas di beting dan hampir terbalik akibat gelombang deras yang dikenal dengan istilah “bena”. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun secara geografis Dumai strategis, namun dari sisi aksesibilitas, wilayah ini masih tergolong terpencil dan sulit dijangkau tanpa pemandu lokal.

Alkemade juga mencatat bahwa wilayah Domei berada dalam pengaruh ekonomi dari pusat-pusat kekuasaan seperti Bukit Batu dan Siak. Sistem perpajakan, penarikan upeti, dan hasil dari pacht (kontrak) menjadi sumber pendapatan utama bagi para elite lokal dan kerajaan. Sistem ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Domei tidak sepenuhnya otonom dalam menentukan nasib ekonominya sendiri, melainkan berada dalam bayang-bayang kekuasaan aristokratik.

Dalam konteks sejarah migrasi, Dumai merupakan ruang terbuka yang menerima perantau dari berbagai tempat. Catatan Alkemade mengisyaratkan bahwa meskipun pengaruh terkuat berasal dari Bukit Batu dan Bengkalis, namun dalam praktiknya, wilayah Dumai juga menjadi tempat bermukim sementara maupun menetap bagi kelompok-kelompok dari daerah lain, termasuk pedagang-pedagang luar dan migran asal Bugis dan Minangkabau. Hal ini menjadikan Dumai sebagai titik temu etnisitas yang kompleks sejak masa pra-kolonial hingga awal kolonial.

Secara umum, Van Rijn van Alkemade melihat bahwa Dumai dan sekitarnya berpotensi menjadi wilayah pelabuhan penting, terutama karena letaknya yang strategis di Selat Melaka. Namun ia juga menyoroti lemahnya infrastruktur, tidak adanya peta laut yang memadai, serta belum adanya sistem pelayaran yang aman, menjadikan kawasan ini masih sangat bergantung pada pengalaman pelaut lokal. Ia bahkan menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda membangun sistem navigasi yang lebih baik di kawasan ini untuk mendukung perdagangan dan pelayaran internasional.

Berdasarkan laporan tahun 1884 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dumai (Domei) memiliki akar sejarah sebagai ruang pertemuan antara pelaut, peladang, pemburu, dan pedagang dari pelbagai etnis dan latar sosial. Walaupun kecil dan sederhana, Dumai memainkan peran signifikan sebagai simpul dalam jaringan ekonomi, politik, dan budaya Melayu di pesisir timur Sumatra. Pandangan Alkemade ini bukan hanya menjadi catatan perjalanan geografis, tetapi juga etnografi awal tentang Dumai yang sangat berharga untuk merekonstruksi identitas historis “Orang Melayu Dumai”.

Artikel Terkait

BESCHRIJVING EENER REIS VAN BENGKALIS LANGS DE ROKAN-RIVIER NAAR RANTAU BINOEWANG